Jumat, 22 Maret 2013

Belajar Adab Adab Sunnah Rasulullah saw

Assalamu'alaikum.

Posisi Tidur Sehat Ala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam

Jam-jam tidur setiap manusia berbeda-beda, tergantung frekuensi kegiatan dan jam-jam sibuk orang itu. Akan tetapi ada waktu, dimana tidur akan membawa mimpi buruk, karena pada saat itu terjadi perpindahan suasana, seperti pada waktu shalat shubuh atau waktu ashar (sore hari).

Selain dosis tidur yang melebihkan, posisi tidur pun mempunyai andil besar dalam menjaga vitalitas kesehatan tubuh. beberapa hal tentang tidur membahayakan bagi kesehatan.

Posisi Tidur terlentang dan menelengkup
Dalam riwayat yang direkam Abu Umamah dalam Musnad dan Sunan Ibnu Majah menyebutkan bahwa nabi pernah lewat di hadapan seorang lelaki yang sedang tidur menelengkup maka beliau menyepaknya dengan kaki beliau sambil bersabda: “bangun dan duduklah! Inilah tidurnya para ahli neraka!”.

Hippocrates menambahkan sikap tidur ini dalam bukunya at-taqdimah yang menyebutkan: “kalau seorang yang sakit tidur menelungkup, padahal pada waktu sehat ia tidak terbiasa tidur demikian. Itu menunjukkan otaknya tidak beres, atau memang ada penyakit di sekitar perutnya.

Waktu Tidur Yang Dianjurkan
Terkait dengan waku tidur, disinyalir bahwa tidur siang menimbulkan penyakit akibat kelembaban tubuh, semisal merusak pigmen tubuh, menyebabkan penyakit empedu, menyebabkan kemalasan dan melelahkan syahwat.

Dalam hal ini, tidur siang digolongkan menjadi tiga macam: khuluq, khuruq, dan humuq.
1. Khuluq adalah tidur di tengah hari. Disebut khuluq (ahklak) karena itu adalah kebiasaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam .
2. Khuruq adalah (perusak) adalah tidur di waktu dhuha (pagi).
3. Humuq (kebodohan) adalah tidur di waktu ashar.

Seorang ahli syair mengatakan: “sesungguhnya tidur di waktu dhuha adalah dapat menyebabkan kemalasan bagi para pemuda, tidur ashar dapat menimbulkan gila”.

Lokasi Tidur yang berbahaya
Tidur dibawah sengatan matahari juga dapat memicu timbulnya penyakit terpendam. Tidur antara sinar matahari dengan tempat teduh juga tidak baik. Diriwayatkan dari Abu Daud dalam sunan-nya dari hadist Abu Hurairah, ia menceritakan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “kalau salah satu diantara kalian berada dibawah matahari, tiba-tiba terkena teduh sehingga sebagian tubuhnya di bawah sinar matahari dan sebagian lagi ditempat teduh maka hendaknya ia bangkit”.

Secara logis hal ini mudah dipahami, karena cahaya matahari menyebabkan berbagai penyakit seperti tekanan panas klenger (sunstroke), kejang otot (kram), dan lain-lain. Penyakit-penyakit yang timbul karena cahaya matahari ini memiliki aneka ragam ciri dan gejala, yang untuk lebih detailnya memerlukan penjelasan sendiri.

Tidur mempunyai dua faedah besar.

1. Mengistirahatkan seluruh anggota tubuh sehingga terbebas dari rasa lelah, panic indera juga merasa nyaman, terlepas dari kerja berat saat terjaga dan melenyapkan segala kepenatan ada.

2. Sempurnanya metabolisme makanan dan proses pembakaran. Karena panas alami tubuh pada saat tidur menggelegak keseluruh tubuh sehingga membantu proses tersebut. Dengan demikian secara lahiriah, tubuh menjadi dingin. Dan karena ini pula orang yang tidur cenderung membutuhkan selimut.

Berkenaan dgn cara tata cara tidur, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda yg diriwayatkan oleh Bukhari & Muslim dari bara’ bin azib: “bila kmu akan mendatangi tempat tidur maka berwudhulah seperti wudhu yg kmu laksanakan ketika akan shalat, kemudian berbaringlah diatas bagian tubuh sebelah kanan, lalu ucapkanlah: “ya Allah! Kuserahkan diri kepada-Mu, kuhadapkan waktu kepada-Mu, kuserahkan persoalan kepada-Mu, kuserahkan punggungku kepada-Mu. Tdk ada tempat bersandar dan tempat menyelamatkan diri dari (murka)-Mu kecuali kepada-Mu, aku beriman kpd kitab yg Engkau turunkan & nabi yg Engkau utus”.

Rahasia medis dari posisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam telah di ungkapkan para ilmuan.
Diantara disebutkan bahwa posisi tidur dengan berbaring ke sebelah kanan berefaedah membantu pencernaan, mengistirahatkan kerja jantung, melemaskan, dan membebaskan anggota tubuh.

Tidur yang paling efesien adalah berbaring ke sebelah kanan agar makanan bisa berada pada posisi yang ‘pas’ dalam lambung yang mengendap secara proposional. Karena lambung cenderung miring ke sebelah kiri sedikit. Lalu beralih ke sebelah kiri sebentar agar proses pencernaan makanan lebih cepat karena lambung mengalir ke lever, baru kemudian di lanjutkan dengan berbaring ke sebelah kanan saja agar cepat tersuplai dari lambung.

Jadi berbaring ke sebelah kanan dilakukan di awal tidur dan di akhir tidur. Terlalu banyak berbaring ke sebelah kiri membahayakan jantung dan menyebabkan seluruh organ mengarah ke jantung, sehingga banyak unsur tubuh yang menyerang jantung.
Wallahu a’lam bis showab

Alhamdulillah. Selamat istirahat semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa merahmati.

Kamis, 21 Maret 2013

Muslimah



***
Muslimah sejati....
Ia mutiara terindah dunia
Bunga terharum sepanjang masa
Ada cahaya di wajahnya
Betapa indah pesonanya
Bidadari bermata jeli pun cemburu padanya
Kelak, ia menjadi bidadari surga
Terindah dari yang ada
(hanan)
***


“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” [QS. adz-Dzāriyāt (51): 56]

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” [QS. an-Nahl (16): 97]


“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun” [QS. an-Nisā (4): 124]


Muhammad Kamaluddin As Sananiri Dai dan Mujahid, 1336-1401 H/1918-1981 M



Kelahiran dan Masa Pertumbuhannya
Lahir di Kairo pada 11 Maret 1918, di tengah keluarga sederhana. Setelah menyelesaikan pendidikannya di sekolah Ibtidaiyyah dan Tsanawiyah, ia lalu mendaftar di Departemen Kesehatan, bagian penanggulangan penyakit Malaria pada tahun 1934. Tak lama kemudian ia keluar dari Departemen Kesehatan tahun 1938 dan berfikir untuk melanjutkan pendidikannya di salah satu Perguruan Tinggi Amerika untuk belajar farmasi agar kelak ia dapat bekerja di apotik (Al Istiqlal) milik orang tuanya. Namun salah seorang ulama berhasil meyakinkannya agar ia tidak berangkat ke Amerika karena disana terjadi banyak dosa-dosa besar. Ia pun membatalkan niatnya setelah mempersiapkan sebuah koper besar untuk berangkat ke sana, dan memutuskan menuju Iskandariah dengan sebuah kapal laut. Itu terjadi pada tahun 1938M. 
Keterikatannya dengan Jamaah Ikhwanul Muslimin
Ia bergabung dengan Jamaah Ikhwanul Muslimin pada tahun 1941.
Muhammad  Kamaluddin As Sananiri adalah murid yang setia terhadap prinsip-prinsip Syeikh dan gurunya, Imam Syahid Hasan Al Banna. Dapat memahami pelajaran saat pertama kali disampaikan. Ketika itu pula ia menyadari bahwa jalan dakwah yang akan dilaluinya sarat dengan marabahaya, dipenuhi duri dan mungkin saja membahayakan keselamatan jiwanya. Seperti itulah jalan menuju syurga: dikelilingi sesuatu yang dibenci.
Ia kerap mengulang-ulang tulisan gurunya yang ditujukan kepada murid-muridnya, “Kebodohan masyarakat terhadap hakikat Islam adalah rintangan terbesar yang ada di hadapan kalian. Para ulama yang berada di dalam gerbong kekuasaan akan memerangi kalian. Pemerintah juga akan selalu berusaha menghalangi aktivitas dan gerakan kalian serta meletakkan berbagai rintangan di atas jalan yang kalian lalui, meminta bantuan kepada jiwa-jiwa yang lemah, hati yang sakit, dan tangan yang senantiasa terulur memohon bantuan kepadanya, sementara kepada kalian terulur tangan permusuhan.
Saat itu kalian akan di penjara, diasingkan, rumah kalian diawasi ketat,  harta benda kalian disita, kalian dituduh sebagai pelaku kejahatan dan dakwaan dusta untuk merusak nama baik dan menghancurkan reputasi kalian. Ujian dan cobaan yang kalian akan lalui ini berlangsung lama, dan pada saat itulah kalian baru saja melalui jalan para penyeru dakwah ini.”
Ustadz Kamaluddin As Sananiri menterjemahkan ucapan ke dalam realitas yang begitu nyata. Ia hidup bersama saudara-saudaranya yang lain sekitar seperempat abad lamanya di penjara, dalam kegelapan dan di bawah ayunan cemeti budak-budak penguasa dan kaki tangannya. Namun mereka tidak goyah, dan tak satu katapun keluar dari lisan mereka selain dzikir kepada Allah Ta’ala sembari merasakan kebersamaan dengan-Nya. Ayunan cemeti yang melecut tubuh mereka dan siksaan yang tiada henti hanya menambah kedekatan dan cinta mereka kepada Allah dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya.
Penangkapan dan Penahanan
Beliau ditangkap pada bulan Oktober 1954, pengadilan yang dibentuk oleh tirani Abdul Nasser lalu menjatuhkan padanya hukuman penjara yang berakhir pada tahun 1974. Siksaan keji yang dilakukan padanya di penjara membuat telinganya cidera parah, itulah yang menyebabkannya dipindahkan ke rumah sakit ‘Aini. Namun ia sangat bersyukur kepada Allah, karena ketika keluar dari penjara telinganya yang sakit dahulu akibat siksaan itu berfungsi jauh lebih baik dari pada telinganya yang lain.
Keras dan kejamnya siksaan yang dilakukan terhadap ustadz As Sananiri, membuat saudara istrinya—yang akhirnya ia ceraikan saat berada di dalam penjara—yang turut bersamanya mengalami depresi, bahkan pemuda tersebut menjadi gila hingga akhirnya dipindahkan ke rumah sakit jiwa.
Adapun ibu Ustadz Kamal As Sananiri dan saudara perempuannya selalu hadir saat pengadilan lolucon terhadap dirinya digelar para tahun 1954. Pada pengadilan pertama, ibu Kamal As Sananiri tidak dapat mengenal wajah putranya akibat siksaan kejam yang dilakukan padanya. Ia pun bertanya kepada putrinya, “Manakah saudaramu, Kamal.” Putrinya berkata, “Itu dia, yang berada di dalam kerangkeng tahanan.” Ibunya tidak percaya dan berkata, “Bukan, wahai putriku. Apakah mataku sudah rabun sehingga saya tak lagi mengenalnya?”
Tubuh As Sananiri bahkan menjadi kurus sehingga pakaian yang ia kenakan menjadi longgar. Mereka juga mencukur habis rambut dan janggutnya, mematahkan tulang rahangnya sehingga caranya bicara jadi berubah, sebagaimana telinga kirinya yang cidera hingga tidak berfungsi. Itulah yang membuat ibunya pangling dan tidak kenal wajah putranya sendiri.
Pernikahannya di Dalam Penjara
Penahanannya yang sangat lama di dalam penjara membuatnya melakukan ikatan pernikahan dengan ukht Aminah Quthb, adik perempuan asy-Syahid Sayyid Quthb dan berkumpul dengannya setelah keluar pada tahun 1973. Namun pernikahan tersebut tidak membuahkan seorang anak, karena ukht Aminah Quthb ketika itu telah berusia lebih dari 50 tahun.
Sifat Zuhud dan Wara’nya
Salah satu sifat dan karakter Kamal As Sananiri adalah tidak suka menonjolkan diri, cenderung kepada kesederhanaan, menyukai orang-orang yang sederhana dan peduli pada nasehat dan arahan mereka semuanya atas akidah yang benar dan bersih dari bid’ah dan khurafat. Ia zuhud dalam kehidupan. Bangun pada malam hari dan puasa di siang hari. Hidup di dalam penjara dengan hanya mengenakan pakaian yang kasar.
Tidak aneh bila lelaki yang hidup zuhud ini menolak permintaan sipir penjara dan intelejen pemerintah—selama berada 20 tahun lebih di penjara—agar mendukung pemerintahan Abdul Nasser. Ia hanya ingin meraih yang baik dan menolak yang hina.
Beberapa Sikapnya
Saya masih ingat, suatu kali akh As Sananiri berkunjung ke Kuwait untuk kepentingan dakwah. Namun adalah kehendak Allah bila Ia mengujiku dengan mengambil kembali titipan-Nya. Salah satu putraku yang berusia 20 tahun karena kecelakaan mobil. Saat itu Akh As Sananiri tidak segera meninggalkanku dan terus menghiburku. Seakan dialah yang tertimpa musibah itu.
Ketika ia ditahan saat kembali dari Afghanistan, siksaan itu ditimpakan kepadanya oleh aparat pemerintah, agar mereka mengetahui perannya dalam jihad di Afghan, dan keterlibatan orang-orang yang bersamanya. Namun ia tetap menolak, sementara para interogator tersebut tidak pernah keluar dari sel tahanan beberapa hari lamanya sambil terus menyiksanya tanpa henti. Dan ia pun akhirnya menemui kematiannya, kembali ke haribaan Tuhannya sebagai syuhada pada tanggal 8 November 1981M.
Organisasi Internasional Ikhwanul Muslimin menyampaikan kabar duka cita dengan kalimatnya, “Organisasi Internasional Ikhwanul Muslimin menyampaikan berita duka cita meninggalnya intelektual Islam, akh Al Mujahid, Asy Syahid Muhammad Kamaluddin As Sananiri, salah satu pemimpin pergerakan Islam internasional dan berasal dari jamaah Ikhwanul Muslimin yang ditangkap oleh Anwar Sadat di penghujung bulan September 1981 setelah ia kembali dari Washington dalam kunjungannya ke Gedung Putih untuk menerima berbagai instruksi dari ‘majikannya’.”
Sifat zuhud pada diri akh Kamal As Sananiri sangat menonjol pada hari kematiannya, ketika proses investigasi dilakukan pada dirinya di bawah pimpinan sang algojo, Hasan Abu Pasha. Seakan hendak menyambut angin syurga yang senantiasa dirindukannya. Asy Syahid Kamal As Sananiri akhirnya berada di tangan para algojo yang berusaha merenggut secara paksa apa yang mereka inginkan darinya dengan melonatarkan berbagai tuduhan keji terhadap Jamaah Islamiyah. Namun ia tetap berkata, “Sesungguhnya Sadat telah menggali kuburan untuk dirinya sendiri dengan menandatangani perjanjian Kamp David yang memutuskan untuk menyerahkan batang leher rakyat Mesir yang Muslim kepada Israel dan Amerika.” (Al Mujtama’: 11/11/1981M)
Ustadz Shalah Syadi menulis tentang dirinya, “Kamal As Sananiri menjalani kehidupannya di dalam penjara Abdul Nasser selama lebih dari 19 tahun lamanya. Tidak mengenakan kain apapun di dalam penjara selain baju penjara yang kasar. Bahkan pakaian dalam yang boleh dibeli setiap tahanan di kantin terpaksa tidak beli, bukan karena ia tidak memiliki uang. Tapi ia menolaknya karena ingin menjalani hidupnya terbebas dari segala sesuatu yang dapat dijadikan oleh sipir penjara sebagai fasilitas untuk merayu atau mengancam. Beliau—rahimahullah—lebih memilih hidup dengan berlepas diri dari segala sesuatu yang mungkin terlarang baginya, agar mereka tidak dapat menguasai apa yang ada pada dirinya.”
Ini adalah kunci kepribadiannya yang zuhud. Perilaku dan tabiat yang sudah menjadi kebiasaan baginya itu adalah sesuatu yang menakjubkan dan mencengangkan bagi kami. Kami sendiri terkadang mengasihani diri kami agar lebih mampu memikul sulitnya jalan panjang yang kami lalui sebagaimana yang ditetapkan Allah atas kami. Adapun dia, maka jiwanya jauh lebih patuh padanya dari pada ujung jarinya. Kesulitan yang ia rasakan tidak dapat membuatnya harus mengasihani dirinya.
Majalah Al Mujtama’ pernah memintaku untuk bercerita tentang dirinya setelah kematiannya. Majalah ini pun menulis kalimat berikut ini:
Majalah Al Mujtama’ memintaku bercerita tentang akh Asy Syahid Muhammad Kamaluddin As Sananiri yang beberapa hari lalu meninggal dunia di penjara di tangan para algojo dan polisi pemerintah yang menggunakan fasilitas dan kemampuan mereka untuk memerangi Islam dan mengancam para penyerunya di setiap tempat, khususnya di bumi Mesir yang menjadi bagian dari terjadinya tragedi ini empat kali secara beruntun.
Ujian pertama pada tahun 1948/1949 yang ditandai dengan pembunuhan terhadap Imam Syahid Hasan Al Banna, dan penangkapan kaum Mujahidin Palestina kemudian mereka dijebloskan ke dalam penjara at-Thur. Cobaan kedua pada tahun 1954 yang merenggut jiwa para syuhadaa: Muhammad Farghali, Abdul Qadir Audah, Yusuf Thal’at, Ibrahim ath-Thib, Handawi Duwaier, dan Muhammad Abdul Lathif, disertai  penangkapan terhadap puluhan bahkan ratusan Ikhwan lainnya untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam penjara Liman Thurrah, Al Harbiy, Al Qal’ah, Abu Za’bal dan sebagainya.
Tragedi berikutnya terjadi tahun 1965 yang ditandai dengan syahidnya Sayyid Quthb, Abdul Fattah Ismail, Muhammad Yusuf Hawasy dan sebagainya dari tokoh terbaik Ikhwan. Ujian tahun 1981 terjadi ketika negeri ini dan masyarakatnya dijual ke tangan Yahudi dan Amerika, mulut-mulut mereka disumpal, masjid-masjid ditutup, lembaga-lembaga, media massa, mimbar-mimbar mereka dibredel, sementara pintu-pintu penjara terbuka untuk menyambut kedatangan kafilah du’at yang terdiri dari orang tua, para pemuda, bahkan untuk kaum wanita dan anak-anak.
Mereka bahkan menggunakan akal orang-orang yang tega menjual diri mereka kepada syetan-syetan Barat untuk menyakiti kaum Muslimin dan wali-wali Allah yang shaleh, yang menolak tunduk kepada selain Allah. Mereka tetap tinggi dan agung dengan keimanannya terhadap tirani kezaliman dengan mengutamakan apa yang ada di sisi Allah daripada berbagai jenis kenikmatan yang ada di muka bumi.
Orang-orang kecil dan rendahan yang duduk di atas singgasana penguasa itu menduga bahwa dengan kekejaman yang dilakukannya mereka sanggup membungkam mulut-mulut para du’at dan menghentikan gerbong kafilahnya yang terus bergerak maju. Mereka lupa bahwa apa yang dilakukannya adalah memerangi Allah yang Maha Kuat dari segala sesuatu, dan Maha Besar dari segala yang besar di dunia ini. Tidak bermanfaat lagi fatwa-fatwa yang dibeli, pernyataan-pernyataan yang mengatasnamakan agama yang dilakukan oleh para ulama resmi dan orang-orang yang serupa dengannya dengan memperindah seluruh perilaku mereka. (Majalah Al Mujtama’, November 1981)

ZAID BIN HARITSAH




( TAK ADA ORANG YANG LEBIH DICINTAINYA DARIPADA RASULULLAH )
Bagian : 1  , dari 2 tulisan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri melepas balatentara Islam yang akan berangkat menuju medan perang Muktah, melawan orang-orang Romawi. Beliau mengumumkan tiga nama yang akan memegang pimpinan dalam pasukan secara berurutan, sabdanya:
"Kalian semua berada di bawah pimpinan Zaid bin Haritsah! Seandainya ia tewas, pimpinan akan liambil alih oleh Ja'far bin Abi Thalib; dan seandainya Ja'far tewas pula, maka komando hendaklah dipegang oleh Abdullah ibnul Ra wahah ".
Siapakah Zaid bin Haritsah itu? Bagaimanakah orangnya? Siapakah pribadi yang bergelar "Pencinta Rasulullah ltu"'
Tampang dan perawakannya biasa saja, pendek dengan kulit coklat kemerah-merahan, dan hidung yang agak pesek. Demikian yang dilukiskan oleh ahli sejarah dan riwayat. Tetapi sejarah hidupnya hebat dan besar.
Sudah lama sekali Su'da isteri Haritsah berniat hendak berziarah ke kaum keluarganya di kampung Bani Ma'an. Ia sudah gelisah dan seakan-akan tak shabar lagi menunggu waktu keberangkatannya. Pada suatu pagi yang cerah, suaminya ialah ayah Zaid, mempersiapkan kendaraan dan perbekalan untuk keperluan itu. Kelihatan Su'da sedang menggendong anaknya yang masih kecil, Zaid bin Haritsah. Di waktu ia akan menitipkan isteri  dan  anaknya  kepada  rombongan  kafilah  yang  akan berangkat bersama dengan isterinya, dan ia harus menunaikan tugas pekerjaannya, menyelinaplah rasa sedih di hatinya, disertai perasaan aneh, menyuruh agar ia turut serta mendampingi anak dan isterinya. Akhirnya perasaan gundah itu hilang jua. Kafilah pun mulai bergerak memulai perjalanannya meninggalkan kampung itu, dan tibalah waktunya bagi Haritsah untuk mengucapkan selamat jalan bagi putera dan isterinya ....
Demikianiah, ia melepas isteri dan anaknya dengan air mata berlinang. Lama ia diam terpaku di tempat berdirinya sampai keduanya lenyap dari pandangan. Haritsah merasakan hatinya tergoncang, seolah-olah tidak berada di tempatnya yang biasa.
Ia hanyut dibawa perasaan seolah-olah ikut berangkat bersama rombongan kafilah.
Setelah beberapa lama Su'da berdiam bersama kaum keluarganya di kampung Bani Ma'an,.hingga di suatu hari, desa itu dikejutkan oleh serangan gerombolan perampok badui yang menggerayangi desa tersebut.
Mampung itu habis porak poranda, karena tak dapat mempertahankan diri. Semua milik yang berharga dikuras habis dan penduduk yang tertawan digiring oleh para perampok itu sebagai tawanan, termasuk si kecil Zaid bin Haritsah. Dengan perasaan duka kembalilah ibu Zaid kepada suaminya seorang diri.
Demi Haritsah mengetahui kejadian tersebut, ia pun jatuh tak sadarkan diri. Dengan tongkat di pundaknya ia berjalan mencari anaknya. Kampung demi kampung diselidikinya, padang pasir dijelajahinya. Dia bertanya pada kabilah yang lewat, kalau-kalau ada yang tahu tentang anaknya tersayang dan buah hatinya  "Zaid"
Tetapi usaha itu tidak berhasil. Maka bersyairlah ia menghibur diri sambil menuntun untanya, yang diucapkannya dari lubuk perasaan yang haru:
"Kutangisi Zaid, ku tak tahu apa yang telah terjadi,
Dapatkah ia diharapkan hidup, atau telah mati.
Demi AIlah ku tak tahu, sungguh aku hanya bertanya.
Apakah di lembah ia celaka atau di bukit ia binasa.
Di kala matahari terbit ku terkenang padanya.
BiIa surya terbenam ingatan kembali menjelma.
Tiupan angin yang membangkitlkan kerinduan pula,
Wahai, alangkah lamanya duka nestapa diriku jadi merana"
Perbudakan sudah berabad-abad dianggap sebagai suatu keharusan yang dituntut oleh kondisi masyarakat pada zaman itu. Begitu terjadi di Athena Yunani, begitu di kota Roma, dan begitu pula di seantero dunia, dan tidak terkecuali di jazirah Arab sendiri.
Syahdan di kala kabilah perampok yang menyerang desa Bani Ma'an berhasil dengan rampokannya, mereka pergi menjualkan barang-barang dan tawanan hasil rampokannya ke pasar 'Ukadz yang sedang berlangsung waktu itu. Si kecil Zaid dibeli oleh Hakim bin Hizam dan pada kemudian harinya ia memberikannya kepada mak ciknya Siti Khadijah. Pada waktu itu Khadijah radliyallahu 'anha telah menjadi isteri Muhammad bin abdillah (sebelum diangkat menjadi Rasul dengan turunnya wahyu yang pertama).Sementara pribadinya yang agung, telah memperlihatkan segala sifat-sifat kebesaran yang istimewa, yang dipersiapkan Allah untuk kelak dapat diangkat-Nya sebagai Rasul-Nya.
Selanjutnya Khadijah memberikan khadamnya Zaid sebagai pelayan bagi Rasulullah. Beliau menerimanya dengan segala senang hati, lalu segera memerdekakannya. Dari pribadinya yang besar dan jiwanya yang mulia, Zaid diasuh dan dididiknya dengan segala kelembutan dan kasih sayang seperti terhadap anak sendiri.
Pada salah satu musim haji, sekelompok orang-orang dari desa Haritsah berjumpa dengan Zaid di Mekah. Mereka menyampaikan kerinduan ayah bundanya kepadanya. Zaid balik menyampaikan pesan salam serta rindu dan hormatnya kepada kedua;orang tuanya. Katanya: kepada para hujjaj atau jamaah haji itu, tolong beritakan kepada kedua orang tuaku, bahwa aku di sini tingal bersama seorang ayah yang paling mulia.
Begitu ayah Zaid mengetahui di mana anaknya berada, segera ia mengatur perjalanan ke Mekah, bersama seorang saudaranya. Di Mekah keduanya langsung menanyakan di mana rumah Muhammad al-Amin (Terpercaya). Setelah berhadapan muka dengan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, Haritsah berkata: "Wahai Ibnu Abdil Mutthalib ..., wahai putera dari pemimpin kaumnya!
Anda termasuk penduduk Tanah Suci yang biasa membebaskan orang tertindas, yang suka memberi makanan para tawanan ....
Kami datang ini kepada anda hendak meminta anak kami. Sudilah kiranya menyerahkan'anak itu kepada kami dan bermurah hatilah menerima uang tebusannya seberapa adanya?"
Rasulullah sendiri mengetahui benar bahwa hati Zaid telah lekat dan terpaut kepadanya, tapi dalam pada itu merasakan pula hak seorang ayah terhadap anaknya. Maka kata Nabi kepada Haritsah: "Panggillah Zaid itu ke sini, suruh ia memilih sendiri. Seandainya dia memilih anda,maka akan saya kembalikan kepada anda tanpa tebusan. Sebaliknya jika ia memilihku, maka demi Allah aku tak hendak menerima tebusan dan tak akan menyerahkan orang yang telah memilihku!"
Mendengar ucapari Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang demikian, wajah Haritsah berseri-seri kegembiraan, karena tak disangkanya sama sekali kemurahan hati seperti itu, lalu ucapnya:  "Benar-benar anda telah menyadarkan kami dan anda beri pula keinsafan di balik kesadaran itu!"
Kemudian Nabi menyuruh seseorang untuk memanggil Zaid. Setibanya di hadapannya, beliau langsung bertanya: "Tahukah engkau siapa orang-orang ini?" "Ya, tahu", jawab Zaid, "Yang ini ayahku sedang yang seorang lagi adalah pamanku".
Kemudian Nabi mengulangi lagi apa yang telah dikatakannya kepada ayahnya tadi, yaitu tentang kebebasan memilih orang yang disenanginya.
Tanpa berfikir panjang, Zaid menjawab: "Tak ada orang pilihanku kecuali anda! Andalah ayah, dan andalah pamanku!"
Mendengar itu, kedua mata Rasul basah dengan gir mata, karena rasa syukur dan haru. Lain dipegangnya tangan Zaid, dibawanya ke pekarangan Ka'bah, tempat orang-orang Quraisy sedang banyak berkumpul, lain serunya:
"Saksikan oleh halian semua, bahwa mulai saat ini, Zaid adalah anakku ... yang akan menjadi ahli warisku dan aku jadi ahli warisnya':
Mendengar itu hati Haritsah seakan-akan berada di awang-awang karena suka citanya, sebab ia bukan saja telah menemukan kembali anaknya bebas merdeka tanpa tebusan, malah sekarang diangkat anak pula oleh seseorang yang termulia dari suku Quraisy yang terkenal dengan sebutan "Ash-Shadiqul Amin", -- Orang lurus Terpercaya --, keturunan Bani Hasyim, tumpuan penduduk kota Mekah seluruhnya.
Maka kembalilah ayah Zaid dan pamannya kepada kaumnya dengan hati tenteram, meninggalkan anaknya pada seorang pemimpin kota Mekah dalam keadaan aman sentausa, yakni sesudah sekian lama tidak mengetahui apakah ia celaka terguling di lembah atau binasa terkapar di bukit.
Rasulullah telah mengangkat Zaid sebagai anak angkat...,
maka menjadi terkenallah ia di seluruh Mekah dengan nama "Zaid bin Muhammad" ....
Di suatu hari yang cerah seruan wahyu yang pertama datang kepada sayidina Muhammad:
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang telah menciptakan ! la telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang telah mengajari manusia dengan kalam (pena).
Mengajari manusia apa-apa yang tidah diketahuinya. (Q.S. 96 al-'Alaq; 1 -- 5)
Kemudian susul-menyusul datang wahyu kepada Rasul dengan kalimatnya:
Wahai orang yang berselimut! Bangunlah (siaphan diri), sampaikan peringatan (ajaran Tuhan). Dan agungkan Tuhanmu. (Q.S. 74 al-Muddattsir: 1 - 3)
Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.' Dan jika tidah kamu laksanakan, berarti kamu telah menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah akan melindungimu dari (kejahatan manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir. (Q.S. 5 al-Maidah: 67)
Maka tak lama setelah Rasul memikul tugas kerasulannya dengan turunnya wahyu itu, jadilah Zaid sebagai orang yang kedua masuk Islam ...,bahkan ada yang mengatakan sebagai orang yang pertama.
Rasul sangat sayang sekali kepada Zaid. Kesayangan Nabi itu  memang  pantas dan wajar, disebabkan kejujurannya yang tak  ada  tandingannya,  kebesaran  jiwanya,  kelembutan  dan kesucian hatinya,  disertai terpelihara lidah  dan tangannya.
Semuanya itu atau yang lebih dari itu menyebahkan Zaid punya kedudukan tersendiri sebagai "Zaid Kesayangan" sebagaimana yang telah dipanggilkan shahabat-shahabat Rasul kepadanya. Berkatalah Saiyidah Aisyah radhiyallah 'anha .: "Setiap Rasulullah mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, pastilah ia yang selalu diangkat Nabi jadi pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah Rasul, tentulah ia akan diangkatnya sebagai khalifah!"
Sampai ke tingkat inilah kedudukan Zaid di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam  Siapakah sebenamya Zaid ini?
Ia sebagai yang pernah kita katakan, adalah seorang anak yang pernah ditawan, diperjual-belikan, lalu dibebaskan Rasul dan dimerdekakannya. Ia seorang laki-laki yang berperawakan pendek, berkulit coklat kemerahan, hidung pesek; tapi ia adalah manusia yang berhati mantap dan teguh serta berjiwa merdeka.
Dan karena itulah ia mendapat tempat tertinggi di dalam Islam dan di hati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena Islam dan Rasulnya tidak sedikit juga mementingkan tuah kebangsawanan dan turunan darah, dan tidak pula menilai orang dengan predikat-predikat lahiriahnya. Maka di dalam keluasan faham Agama besar inilah cemerlangnya nama-nama seperti Bilal, Shuhaib, 'Ammar, Khabbab, Usamah dan Zaid. Mereka semua punya kedudukan yang gemilang, baik sebagai orang-orang shaleh maupun sebagai pahlawan perang.
Dengan tandas Islam telah mengumandangkan dalam kitab sucinya al-Quranul Karim tentang nilai-nilai hidup:
"Sesungguhnya semulia-mulia kalian di sisi Allah, ialah yang paling taqwa!"  (Q.S. 49 al-Hujurat: 13)
Islamlah Agama yang membukakan segala pintu dan jalan untuk mengembangkan berbagai bakat yang balk dan cara hidup yang suci, jujur dan direstui Allah ....
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menikahkan Zaid dengan Zainab anak makciknya. Ternyata kemudian kesediaan Zainab memasuki tangga perkawinan dengan Zaid, hanya karena rasa enggan menolak anjuran dan syafa'at Rasulullah, dan karena tak sampai hati  menyatakan  enggan  terhadap  Zaid sendiri. Kehidupan rumah tangga dan perkawinan mereka yang tak dapat bertahan lama, karena tiadanya tali pengikat yaitu cinta yang ikhlas karena Allah dari Zainab, sehingga berakhir dengan perceraian. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengambil tanggung jawab terhadap rumah tangga Zaid yang telah pecah itu. Pertama merangkul Zainab dengan menikahinya sebagai isterinya, kemudian mencarikan isteri baru bagi Zaid dengan mengawinkannya dengan Ummu Kaltsum binti 'Uqbah.
Disebabkan peristiwa tersebut di atas terjadi kegoncangan dalam masyarakat kota Madinah. Meueka melemparkan kecaman, kenapa Rasul menikahi bekas isteri anak angkatnya?
Tantangan dan kecaman ini dijawab Allah dengan wahyu-Nya, yang membedakan antara anak angkat dan anak kandung atau annak adaptasi dengan anak sebenamya, sekaligus membatalkan adat kebiasaan yang berlaku selama itu. Pernyataan wahyu itu berbunyi sebagai berikut:
Muhammad bukanlah bapah dari seorang laki-laki (yang ada bersama) kalian. Tetapi ia adalah Rasul Allah dan Nabipenutup. (Q.S. 33 al-Ahzab: 40)
Dengan demikian kembali Zaid dipanggil dengan namanya semula "Zaid bin Haritsah"
Dan sekarang ....
Tahukah anda bahwa kekuatan Islam yang pernah maju medan perang "Al-Jumuh" komandannya adalah Zaid bin Haritsah? Dan kekuatan-kekuatan lasykar Islam yang bergerak maju ke medan pertempuran at-Tharaf, al-'Ish, al-Hismi dan lainnya, panglima pasukannya, adalah Zaid bin Haritsah juga?
Begitulah sebagaimana yang pernah kita dengar dari Ummil Mu'minin 'Aisyah radhiyallah 'anha tadi: "Setiap Nabi mengirimkan Zaid dalam suatu pasukan, pasti ia yang diangkat jadi pemimpinnya'"
Akhirnya datanglah perang Muktah yang terkenal itu ....
Adapun orang-orang Romawi dengan kerajaan mereka yang telah tua bangka, secara diam-diam mulai cemas dan takut terhadap kekuatan Islam, bahkan mereka melihat adanya bahaya besar yang dapat mengancam keselamatan dan wujud mereka.
Terutama di daerah jajahan mereka Syam (Syria) yang berbatasan dengan negara dari Agama baru ini, yang senantiasa bergerak maju dalam membebaskan negara-negara tetangganya dari cengkeraman penjajah. Bertolak dari pikiran demikian, mereka hendak mengambil Syria sebagai batu loncatan untuk menaklukkan jazirah Arab dan negeri-negeri Islam.
Gerak-gerik orang-orang Romawi dan tujuan terakhir mereka yang hendak menumpas kekuatan Islam dapat tercium oleh Nabi. Sebagai seorang ahli strategi, Nabi memutuskan untuk mendahului mereka dengan serangan mendadak daripada diserang di daerah sendiri, dan menyadarkan mereka akan keampuhan perlawanan Islam.
Demikianlah, pada bulan Jumadil Ula, tahun yang kedelapan Hijrah tentara Islam maju bergerak ke Balqa' di wilayah Syam.
Demi mereka sampai di perbatasannya, mereka dihadapi oleh tentara Romawi yang dipimpin oleh Heraklius, dengan mengerahkan juga kabilah-kabilah atau suku-suku badui yang diam di perbatasan. Tentara Romawi mengambil tempat di suatu daerah yang bernama Masyarif, sedang lasykar Islam mengambil posisi di dekat suatu negeri kecil yang bernama Muktah, yang jadi nama pertempuran ini sendiri.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui benar arti penting dan bahayanya peperangan ini. Oleh sebab itu beliau sengaja memilih tiga orang panglima perang yang di waktu malam bertaqarrub mendekatkan diri kepada Ilahi, sedang di siang hari sebagai pendekar pejuang pembela Agama. ?Tiga orang pahlawan yang siap menggadaikan jiwa raga mereka kepada Allah, mereka yang tiada berkeinginan kembali, yang bercita-cita mati syahid dalam perjuangan menegakkan kalimah Allah. Mengharap semata-mata ridla ilahi dengan menemui wajah-Nya Yang Maha Mulia kelak ....
Mereka yang bertiga secara berurutan memimpin tentara itu ialah: Pertama Zaid bin Haritsah, kedua Ja'far bin Abi Thalib dan ketiga 'Abdullah bin Rawahah, moga-moga Allah ridla kepada mereka dan menjadikan mereka ridla kepada-Nya, serta Allah meridlai pula seluruh shahabat-shahabat yang lain ....
Begitulah apa yang kita saksikan di permulaan ceritera ini, sewaktu berangkat Rasul berdiri di hadapan pasukan tentara Islam yang hendak berangkat itu. Rasul melepas mereka dengan amanat: "Kalian harus tunduk kepada Zaid bin Haritsah sebagai pimpinan, seandainya ia gugur pimpinan dipegang oleh Ja'far bin Abi Thalib, dan seandainya Ja'far gugur pula, maka tempatnya diisi oleh 'Abdullah bin Rawahah!"
Sekalipun Ja'far bin Abi Thalib adalah orang yang paling dekat kepada Rasul dari segi hubungan keluarga, sebagai anak pamannya sendiri .... Sekalipun keberanian ketangkasannya tak diragukan lagi, kebangsawanan dan turunannya begitu pula, namun ia hanya sebagai orang kedua sesudah Zaid, sebagai panglima pengganti, sedangkan Zaid beliau angkat sebagai panglima pertama pasukan.
Beginilah contoh dan teladan yang diperlihatkan Rasul dalam mengukuhkan suatu prinsip. Bahwa Islam sebagai suatu Agama baru mengikis habis segala hubungan lapuk yang didasarkan pada darah dan turunan atau yang ditegakkan atas yang bathil dan rasialisme, menggantinya dengan bubungan baru yang dipimpin oleh hidayah ilahi yang berpokok kepada hakekat kemanusiaan ....
Dan seolah-olah Rasul telah mengetahui secara ghaib tentang pertempuran yang akan berlangsung, beliau mengatur dan menetapkan susunan panglimanya dengan tertib berurutan: Zaid, lalu Ja'far, kemudian Ibnu Abi Rawahah. Ternyata ketiga mereka menemui Tuhannya sebagai syuhada sesuai dengan urutan itu pula!
Demi Kaum Muslimin melihat tentara Romawi yang jumlahnya menurut taksiran tidak kurang dari 200.000 orang, suatu jumlah yang tak mereka duga sama sekali, mereka terkejut.
Tetapi kapankah pertempuran yang didasari iman mempertimbangkan jumlah bilangan?
Ketika itulah ..., di sana, mereka maju terus tanpa gentar, tak perduli dan tak menghiraukan besarnya musuh .... Di depan sekali kelihatan dengan tangkasnya mengendarai kuda, panglima mereka Zaid, sambil memegang teguh panji-panji Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maju menyerbu laksana topan, di celah-celah desingan anak panah, ujung tombak dan pedang musuh. Mereka bukan hanya semata-mata mencari kemenangan, tetapi lebih dari itu mereka mencari apa yang telah dijanjikan Allah, yakni tempat pembaringan di sisi Allah, karena sesuai dengan firman-Nya:
"Sesungguhnya Allah telak membeli jiwa dan harta orang-orang Mu inin dengan surga sebagai imbalannya. (Q.S. 9 at-Taubah: 111)
Zaid tak sempat melihat pasir Balqa', bahkan tidak pula keadaan bala tentara Romawi, tetapi ia langsung melihat keindahan taman-taman surga dengan dedaunannya yang hijau berombak laksana kibaran bendera, yang memberitakan kepadanya, bahwa itulah hari istirahat dan kemenangannya.
Ia telah terjun ke medan laga dengan menerpa, menebas, membunuh atau dibunuh. Tetapi ia tidaklah memisahkan kepala musuh-musuhnya, ia hanyalah membuka pintu dan menembus dinding, yang menghalanginya ke kampung kedamaian, surga yang kekal di sisi Allah ....
Ia telah menemui tempat peristirahatannya yang akhir.
Rohnya yang melayang dalam perjaianannya ke surga tersenyum bangga melihat jasadnya yang tidak berbungkus sutera dewangga, hanya berbalut darah suci yang mengalir di jalan Allah.
Senyumnya semakin melebar dengan tenang penuh nikmat, karena melihat panglima yang kedua Ja'far melesit maju ke depan laksana anak panah lepas dari busurnya. untuk menyambar panji-panji yang akan dipanggulnya sebelum Jatuh ke tanah….